APA ITU KORUPSI???

Definisi Korupsi. Korupsi adalah Penyelewengan atau penggelapan dana demi memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan dengan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang mengakibatkan menurunnya efisiensi keuangan dan perekonomian negara atau perusahaan.

Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur

  • Melanggar hukum atau peraturan
  • Penyelewengan kekuasaan sewenang-wenang
  • merugikan negara
  • Memperkaya diri sendiri (termasuk korupsi)
  • Praktek pilih kasih seperti nepotisme (melebihkan ahli keluarga dan sanak-saudara) serta kronisme (melebihkan kroni atau rekan)

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Gambar 

Read more: Pengertian Korupsi | Kumpulan Istilah http://www.kumpulanistilah.com/2011/08/pengertian-korupsi.html#ixzz2Fbcs7qKs

PERJANJIAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BERPOTENSI KONFLIK

Beberapa Hal Tentang Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan Hak Milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum di hadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak milik) yang dialihkan tersebut atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut. Dengan demikian berarti, agar peralihan Hak Atas Tanah dan khususnya Hak Milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan Hak Atas Tanah harus memastikan kebenaran mengenai Hak Atas Tanah (Hak Milik) tersebut dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan Hak Atas Tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek Hak Atas tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen :
1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan atau
2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar :
a. Surat bukti yang membuktikan Hak Atas Tanah yang lama yang belum dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan Hak Atas Tanah tersebut termasuk Hak Milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.
Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Dapat Menimbulkan Konflik
Tanah merupakan sumber daya alam yang luasnya terbatas, sedangkan permintaan akan tanah terus bertambah seiring dengan lajunya pembangunan akibat pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi serta perkembangan teknologi maupun kemajuan dari ilmu pengetahuan, dengan demikian tanah merupakan sarana yang amat penting dalam pembangunan dan bagi kehidupan manusia. Peralihan Hak Atas Tanah yang sejak semula dapat menimbulkan konflik tetapi tetap memohon untuk dapat dibuat aktanya oleh Notaris PPAT. Ada tiga tindakan Notaris/PPAT yaitu Pertama : memberikan solusi kepada klien untuk mengurus dan menyelesaikan, hal-hal yang akan menimbulkan konflik. Kedua : menerima/ melayani pembuatan akta PPAT dengan ketentuan syarat-syarat subjek dan syarat objek dijadikan syarat mutlak sebelum perjanjian dibuat, menggunakan salah satu kewenangannya sebagai Notaris untuk digunakan sebagai landasan pembuatan akta peralihan Hak Atas Tanah atau akta perikatan jual beli dan yang ketiga : tidak melayani/menolak permohonan pembuatan akta PPAT/Notaris terhadap suatu perjanjian karena dikemudian hari pasti akan menimbulkan konflik.
Dalam manejemen dokumentasi pertanahan, pada umumnya kantor pertanahan tidak membuat daftar tanah yang mencatat semua bidang tanah yang telah diukur, begitu juga distribusi jaringan kerangka dasar kadastral nasional orde 1 dan 2 tidak dipetakan dalam peta kabupaten atau kota sehingga mengakibatkan tumpang tindih jaringan kerangka dasar kadastral nasional yang pembuatannya melalui proyek – proyek yang berbeda. Adapun dalam bidang pengukuran dan pemetaan, kelemahan mendasar adalah penerbitan sertifikat tidak diikuti dengan pembuatan peta pendaftaran. Kelemahan dalam bidang pengukuran dan pemetaan ini, kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai prosedur kerja pembuatan peta pendaftaran sebagaimana yang telah dimaksud dalam PMNA No 3 tahun 1997, ataukah disebabkan oleh hal lain. Perlu diteliti lebih jauh.
Kedua kegiataan kurang mendapatkan perhatian serius, padahal sebenarnya kegiatan inilah inti dari pendaftaran tanah dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan, karena tanpa memperhatikan kedua kegiataan ini akan timbul hal – hal yang tidak diingkan seperti timbulnya tumpang tindih sertifikat, kesulitan mencari dokumen pada waktu diperlukan selain itu tanpa memperhatikan kedua jenis kegiataan tersebut, maka pembangunan system informasi pertanahan akan mengalami kesulitan besar.
Perbuatan hukum mengenai perjanjian jual beli tanah tidak tertutup kemungkinan transaksi yang dilakukan para pihak mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak sekedar formal yuridis, tetapi juga non yuridis. Perjanjian jual beli yang dapat menimbulkan konflik ini antara lain disebabkan karena :
1. Syarat-syarat tertulis tidak terpenuhi antara lain : Sertifikat Hak Atas Tanah yang menjadi objek perjanjian sedang dalam keadaan agunan di bank, Sertifikat Hak Atas Tanah masih terdaftar atas nama orang lain dan pembeli belum cukup umur, Jual beli tanah sawah yang terdaftar dalam sertifikat masih atas nama orang tuanya, sedang pembeli bertempat tinggal di luar daerah.
2. Syarat-syarat tidak tertulis tidak terpenuhi antara lain : Jual beli tanah yang sedang dijadikan jaminan kredit di Bank disertai pernyataan pemberi utang bersedia menyerahkan sisa harga tanah, jual beli tanah disertai surat pernyataan memberi hak pertama kepada penjual untuk membeli kembali. Jual beli tanah sebagai kompensasi utang penjual kepada pembeli.
Menghadapi perjanjian yang dapat menimbulkan konflik dalam arti tidak terpenuhinya syarat-syarat formal (tertulis), tidak terpenuhinya syarat-syarat material (tidak tertulis) dan tidak berhaknya para pihak melakukan perjanjian. PPAT/Notaris dapat melakukan bentuk-bentuk tindakan seperti : syarat-syarat formal suatu akta dijadikan sebagai syarat mutlak untuk dipenuni para pihak sebelum akta jual beli dibuat Motivasi dan tindakan PPAT/Notaris dalam menangani perjanjian peralihan Hak Atas Tanah yang dapat menimbulkan konflik, didasarkan atas pertimbangan sukses, pertimbangan nilai, pertimbangan pengalaman dan pertimbangan kesempatan yang langka. Sebaiknya sebelum memutuskan suatu tindakan, PPAT/Notaris harus mampu menganalisis situasi dan konflik, mengakomodasikan kepentingan hukum dan kepentingan sosial dalam pembuatan akta PPAT/Notaris.
Kepentingan Hak Peralihan Sertifikat Hak Atas Tanah
Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Selanjutnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Bagi Negara Republik Indonesia, yang susunan perekonomiannya dan corak kehidupannya masih bersifat agraris maka tanah mempunyai fungsi dan peranan yang mencakup berbagai aspek penghidupan dan kehidupan masyarakat, bukan hanya aspek ekonomis belaka tetapi juga menyangkut aspek-aspek yang non ekonomis, apalagi tanah merupakan segala-galanya bagi masyarakat yang peranannya bukan hanya sekedar faktor produksi melainkan pula mempunyai nilai untuk mendukung martabatnya sebagai manusia.
Berbagai pengalaman historis telah membuktikan bahwa tanah sangat lengket dengan perilaku masyarakat bahkan tanah dapat menimbulkan masalah bila sendi-sendi perubahan tidak memiliki norma sama sekali. Betapa pentingnya tanah sebagai sumber daya hidup, maka tidak ada sekelompok masyarakatpun di dunia ini yang tidak memiliki aturan-aturan atau norma-norma tertentu dalam masalah pertanahan ini, penduduk bertambah, pemikiran manusia berkembang dan berkembang pulalah sistem, pola, struktur dan tata cara manusia menetukan sikapnya terhadap tanah. Seiring dengan perubahan dan perkembangan pola pikir, pola hidup dan kehidupan manusia maka dalam soal pertanahanpun terjadi perubahan, terutama dalam hal pemilikan dan penguasaannya dalam hal ini tentang kepastian hukum dan kepastian Hak Atas Tanah yang sedang atau yang akan dimilikinya. Dengan adanya persoalan-persoalan, baik mengenai pertambahan penduduk maupun perkembangan ekonomi, maka kebutuhan terhadap tanah dalam kegiatan pembangunan akan meningkat.
Berdasarkan kenyataan ini, tanah bagi penduduk Indonesia dewasa ini merupakan harta kekayaan yang paling tinggi nilainya dan juga merupakan sumber kehidupan, maka dari itu jengkal tanah dibela sampai titik darah penghabisan apabila hak tanahnya ada yang mengganggu. Untuk menjaga jangan sampai terjadi sengketa maka perlu diadakan pendaftaran tanah. Sadar akan tugas dan kewajibannya itu maka pemerintah telah menetapkannya pada Pasal 19 UUPA yang pada Ayat (1) menyatakan bahwa : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur degan Peraturan Pemerintah.” Selanjutnya pada Ayat (2) memberikan rincian bahwa pendaftaran tanah yang disebut pada Ayat (1) tersebut meliputi :
a) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah,
b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,
c) Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Sebagai implementasi dari Pasal 19 Ayat (1) dan (2) ini maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah di bidang Pendaftaran Tanah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 mengenai Pendaftaran Tanah dan pendaftaran tanah dimaksud dijejaskan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 pada Pasal 2 Ayat (1) yaitu harus dilakukan desa demi desa atau daerah-daerah yang setingkat dengan itu.
d) Dengan melihat konsepsi Pasal 19 Ayat (1 dan 2 ) UUPA serta Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tersebut di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa pendaftaran tanah adalah perlu demi terciptanya kepastian hukum dan kepastian Hak Atas Tanah. Dalam pelaksanaan pendaftaran ini, pemerintah akan melaksanakan secara sederhana dan mudah dimengerti dan secara berangsur-angsur. Konsepsi logis dari semua itu adalah Ayat 2 c Pasal 19 UUPA yaitu “akan diberikan tanda bukti hak/surat bukti hak, dimana surat-surat bukti hak tersebut akan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi pokok sebenarnya dari pendaftaran tanah.
Jadi jelaslah sebenarnya bahwa tujuan pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap Hak Atas Tanah. Pendaftaran Tanah adalah tugas dan beban pemerintah akan tetapi untuk mensukseskannya/keberhasilannya sangat tergantung pada partisipasi aktif/peranan masyarakat terutama pemegang hak. Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung unsur positif, menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Jadi kalau dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maka status kepemilikan Hak Atas Tanah bagi warga Negara Indonesia akan terjamin dan akan tercipta suatu kepastian baik mengenai subjeknya, objeknya maupun hak yang melekat di atasnya termasuk dalam hal ini peralihan Hak Atas Tanah. Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan kegiatan pendaftaran tanah baik mengenai tata cara, prosedur maupun biayanya, serta pentingnya pendaftaran tanah ini bagi pemegang hak dan yang lebih penting lagi kantor Pertanahan harus senantiasa melakukan pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi overlapping dalam pemberian haknya atau pendaftaran haknya yang dapat menimbulkan masalah hukum yaitu sengketa/ perkara yang disebabkan oleh adalanya sertifikat ganda atau sertifikat palsu. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa memutakhirkan datanya terutama buku tanah sebagai bank data. Dalam realitas kehidupan kita ditengah-tengah masyarakat terdapat fakta bahwa masih banyak persoalan/sengketa tanah yang berawal dari belum terciptanya kepastian hukum atas sebidang tanah seperti masih adanya sengketa/perkara di bidang pertanahan sebagai akibat baik karena belum terdaftarnya Hak Atas Tanah maupun setelah terdaftarnya Hak Atas Tanah, dalam artian setelah tanah itu bersertifikat.
Sehubungan dengan pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, baik mengenai subjek maupun objeknya, maka pemerintah mengharuskan dilakukan pengumuman mengenai hak-hak atas tanah, yang meliputi :
1. Pengumuman mengenai subjek yang menjadi pemegang hak yang dikenal dengan sebagai asas publisitas dengan maksud agar masyarakat luas dapat mengetahui tentang subjek dan objek atas satu bidang tanah. Adapun implementasi dari asas publisitas ini adalah dengan mengadakan pendaftaran tanah.
2. Penetapan mengenai letak, batas-batas dan luas bidang-bidang tanah yang dipunyai seseorang atas sesuatu Hak Atas Tanah, dikenal sebagai asas spesialitas daan implementasinya adalah dengan mengadakan Kadaster.
Dengan demikian, maka seseorang yang hendak membeli suatu Hak Atas Tanah tidak perlu melakukan penyelidikan sendiri, karena keterangan mengenai subyek dan objek atas suatu bidang tanah dapat diperoleh dengan mudah pada instansi pemerintah yang ditugaskan menyelenggarakan Pendaftaran Tanah. Pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 belum berjalan efektif, hal ini selain sasaran utamanya/daerah yang diutamakan adalah daerah-daerah perkotaan, juga menyangkut tata cara, administrasi dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat pemegang Hak Atas Tanah sangatlah berat dirasakan oleh masayarakat pemegang Hak Atas Tanah serta sosialisasi terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah itu sendiri belum maksimal. Dengan kondisi tersebut maka tujuan pendaftaran tanah belum tercapai. Akselerasi dalam pembangunan nasional sangat memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pendaftaran tanah dan oleh karena Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dipandang tidak lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Dengan menimbang hal-hal tersebut, maka pemerintah memandang perlu membuat suatu aturan yang lengkap mengenai pendaftaran tanah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk adanya jaminan kepastian hukum dan akhirnya pada tanggal 8 Juli 1997, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak serta merta menghapuskan keberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau diubah atau diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. (Pasal 64 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).
Objek pendaftaran tanah ini bila dikaitkan dengan sistem pendaftaran tanah maka menggunakan sistem pendaftaran tanah bukan pendaftaran akta, karena sistem pendaftaran tanah ditandai/dibuktikan dengan adanya dokumen Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar, sedangkan pendaftaran akta, yang didaftar bukan haknya, melainkan justru aktanya yang didaftar, yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum mengenai hak tersebut kemudian. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini, kelihatanya program atau kegiatan pendaftaran tanah mulai menggeliat, saat ini pendaftaran tanah sudah berjalan, namun perlu ditingkatkan terus dan mencari solusi yang efektif agar tujuan hakiki dari pendaftaran tanah terutama bagi tanah yang akan didaftar secara sistematis dan sporadik dapat tercapai. Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung unsur positif, menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pemerintah harus terus mencari cara dan sistem dalam rangka optimalisasi tujuan pendaftaran tanah terutama mengenai asas sederhana, aman dan terjangkau, sehingga golongan ekonomi lemahpun dapat termotifasi untuk mendaftarkan tanahnya terutama secara sistematis dan sporadik, walaupun saat ini sudah ada program Larasita yang lebih mendekatkan pada pelayanan dan bantuan biaya. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa memutakhirkan datanya terutama pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :
1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
2. Dalam atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai Hak Atas Tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.
Ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 19 Ayat (2) Huruf c, Pasal 23 Ayat (2), Pasal 32 Ayat (2) dan Pasal 38 Ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif, yaitu sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka diadakan perubahan dan penbetulan sebagaiamana mestinya. Ketentuan Pasal 32 Ayat (1) peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mempunyai kelemahan, yaitu Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan sewaktu-sewaktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat.

PENGEMUDI XENIA “AFRIYANI SUSANTI” DIFONIS HAKIM 15 TAHUN PENJARA

1400422620X310

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Afriyani Susanti, sopir Xenia yang menewaskan sembilan orang, berupa hukuman penjara selama 15 tahun, Rabu (29/8/2012).

Pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ketua Majelis Hakim Antonius Widyanto membacakan putusannya, “Terdakwa Afriyani Susanti terbukti bersalah melakukan tindakan pidana dengan mengemudikan kendaraan dengan cara atau dalam keadaan yang membahayakan bagi nyawa orang lain. Kami menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun,” ujar Antonius.

Sementara itu, majelis hakim membebaskan Afriyani dari dakwaan primer, yaitu Pasal 338 KUHP tentang kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Majelis hakim beralasan bahwa selama persidangan tidak terungkap bahwa adanya niat Afriyani untuk menabrak korban. “Kami membebaskan terdakwa dari dakwaan primer Pasal 338 KUHP,” lanjut Antonius.

Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, terdakwa Afriyani terbukti melakukan kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 311 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Afriyani dengan hukuman pidana penjara 20 tahun.

Sebelumnya diberitakan, keluarga korban berharap majelis hakim mengabulkan tuntutan dari jaksa penuntut umum, yakni 20 tahun penjara. Hal ini disampaikan Mulyadi, orangtua Arie, korban meninggal dalam peristiwa itu.

“Saya ikut jaksa aja, 20 tahun penjara menurut saya sudah pantas,” ujar Mulyadi yang biasa dipanggil Pak Yadi ini. Ia sangat berharap terdakwa Afriyani mendapat hukuman yang sepantasnya. Menurutnya, tidak adil jika menghilangkan sembilan nyawa hanya dihukum lima tahun.

Jumari, kakak kandung M Akbar, melontarkan hal senada. “Saya setuju dengan tuntutan jaksa, hukum harus ditegakkan. Sidang hari ini juga jangan sampai ditunda lagi,” ujarnya.

Dalam wawancara terpisah, kuasa hukum dari keluarga korban, Ronny Talapesy, juga merasa optimistis tuntutan jaksa akan dikabulkan hakim. “Kita akan menggugat perdata serta mengajukan banding jika putusan hakim tidak sesuai harapan,” lanjutnya.

Afriyani Susanti adalah pengemudi mobil Xenia yang menabrak pejalan kaki di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat dan menewaskan sembilan orang pada 22 Januari 2012 lalu.

Adapun penggunaan Pasal 338 KUHP yang didakwakan jaksa penuntut memang menjadi perdebatan sejak awal. Dalam dakwaannya, jaksa penuntut menggunakan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dengan Unsur Kesengajaan serta Pasal 311 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta menuntut Afriyani dengan 20 tahun penjara.

http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/29/13075258/Afriyani.Divonis.15.Tahun.Penjara

NIKAH SIRI BUPATI GARUT “ACENG FIKRI”

Bupati Garut Aceng Fikri bersikeras tidak menyalahi aturan saat menikah siri dengan FO, gadis berusia 19 tahun asal Limbangan, Kabupaten Garut. Ia justru menganggap kasus ini sengaja diembuskan lawan politik guna mencemarkan nama baiknya.

“Masalah ini sudah diselesaikan secara kekeluargaan sejak 16 Agustus 2012 dengan surat kesepakatan di atas meterai, dengan kompensasi nominal tertentu. Mungkin ada pihak yang mau menghancurkan nama baik saya jelang Pemilihan Bupati Garut 2013 nanti,” kata Aceng saat melakukan jumpa pers di Garut, Rabu (28/11/2012).

Sebelumnya tingkah Aceng Fikri menikahi dan menceraikan gadis di bawah umur dalam waktu empat hari, 16-19 Juli 2012, menuai protes. Sebagai kepala daerah, tindakannya dianggap tidak pantas dan melanggar aturan hukum.

Ia dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena menikah dengan gadis di bawah umur dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia karena menjanjikan imbalan tertentu untuk mau dinikahi.

Aceng sendiri saat ditanya wartawan tidak membenarkan atau menolak kabar tentang pernikahan. Ia hanya mengatakan masalah itu menjadi urusan pribadi yang tidak semua orang ia izinkan untuk mengetahuinya.

“Saya siap memberikan penjelasan mengenai hal ini termasuk bila dipanggil Gubernur Jawa Barat,” ujarnya saat dimintai pendapat bahwa Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan akan memanggilnya langsung untuk meminta klarifikasi mengenai hal ini.

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Garut Nitta Wijaya khawatir masalah ini memperburuk pemenuhan hak anak dan perempuan di Kabupaten Garut dan Indonesia.

Nitta masih mengharapkan ada langkah khusus dari Pemprov Jabar atau Kementerian Dalam Negeri agar menyelesaikan hal ini. Tujuannya agar peristiwa serupa tidak terjadi di daerah lain. “Korban FO masih menderita trauma psikologis pascaperceraian itu,” ujarnya.

Gambar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

http://regional.kompas.com/read/2012/11/28/18071957

OUTSOURCHING DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN YANG BERKEADILAN

A. Pendahuluan
Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja.
Pelaksanaan outsourcing dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan; terutama hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Namun demikian, pada dasarnya praktek outsourcing tidak dapat dihindari oleh pengusaha apalagi oleh pekerja. Hal tersebut dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendapat legalisasi memberlakukan praktek outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.
Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan oleh para pihak. Pada praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang berhubungan hukum yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penerima kerja dan pekerja outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda. Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang tinggi dengan harga yang serendah-rendahnya. Sedangkan penerima pekerjaan mengharapkan kualitas barang atau jasa yang terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi lain, pengusaha mengharapkan pekerja agar melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal, sebaliknya pekerja mengharapkan kerja yang ringan dengan penghasilan atau upah yang tinggi.
Pemahaman mengenai pekerja outsourcing sebenarnya mulai terbit sejak diaturnya masalah outsourcing dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan walaupun di dalam undang-undang tersebut tidak pernah disebutkan mengenai istilah outsourcing. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan tersebut merupakan pilihan bebas sehingga sebenarnya penggunaan pekerja outsourcing tergantung kepada pengusaha. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak semua pekerjaan dapat diserahkan untuk dikerjakan oleh perusahaan lainnya, melainkan harus memenuhi syarat-syarat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Sedangkan syarat lain yang harus dipenuhi adalah perusahaan pemborong harus berbadan hukum serta perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan tersebut harus sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourcing sangat sulit dilakukan, oleh karena itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi. Pelanggaran yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja terhadap pekerja. Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan pengusaha kepada pekerja umumnya di bawah standar yang berlaku di mana pekerja dipekerjakan. Meskipun realisasi hubungan kerja dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan pekerja akan tetapi perusahaan pengerah jasa tenaga kerja mendapatkan keuntungan melalui pemotongan sebagian hak yang diterima pekerja pada perusahaan di mana pekerja ditempatkan.
Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing. Hal tersebut dikarenakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.
Kritik tajam terhadap pemberlakuan outsourcing dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga tercermin dari pasal-pasal yang mengaturnya. Pada Pasal 64 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan perjanjian penyedia jasa buruh. Selain itu diatur bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65 Ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketentuan dalam pasal ini telah menimbulkan kritik karena bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada orang lain masih memiliki kewenangan untuk memberikan perintah langsung atau tidak langsung terhadap pelaksanaan pekerjaan yang telah diborongkan kepada perusahaan lain. Dalam hal ini terhadap inkonsistensi antara Pasal 64 dan Pasal 65 Ayat (1) sub b Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Sebab hal tersebut akhirnya menimbulkan konsekuensi hukum bahwa perusahaan yang memborongkan pekerjaan dengan pekerja pelaksana pekerjaan terhadap hubungan kerja. Sebaliknya antara pekerja dengan perusahaan yang memborongkan pekerjaan tidak terdapat hubungan kerja.
Mengenai perjanjian penyedia jasa buruh pada Pasal 66 Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja dari perusahaan penyedia jasa tidak boleh digunakan oleh perusahaan pengguna untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kalimat pertama pasal tersebut memberikan pemahaman seakan-akan antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan perusahaan pemberi kerja terjadi perjanjian sewa menyewa buruh. Hal tersebut yang menyebabkan kemudian memicu pertentangan oleh elemen masyarakat sebagai salah satu bentuk praktek perbudakan modern.
Meskipun dianggap sebagai timbulnya praktek perbudakan modern di Indonesia, hampir disemua sektor pekerjaan melibatkan pekerja outsourcing. Banyak perkara juga diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial mengenai tuntutan pekerja outsourcing yang diputus hubungan kerjanya secara sepihak untuk mendapatkan kompensasi pemutusan hubungan kerja dari perusahaan pengguna atau bahkan agar dapat dipekerjakan pada perusahaan pengguna sebagai pekerja di perusahaan tersebut.

B. Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
1. Berlakunya Outsourcing Melegalkan Perdagangan dan Perbudakan Manusia
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik penyediaan jasa pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan lain sudah terjadi. Bidang-bidang pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam), sekuriti dan cleaning service merupakan pekerjaan yang diserahkan perusahaan untuk dikerjakan oleh tenaga kerja dari perusahaan lain. Praktik pelaksanaannya pun tidak berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di Indonesia ditilik dari sejarahnya telah dilakukan bertahun-tahun yang lampau. Pada Putusan P4P Nomor 65/59/II/02/c 5 Agustus 1959 mengenai tuntutan pekerja kontrak dari Kontraktor Firma Semesta yang bekerja di Pacific Bechtel. Pekerja dipekerjakan dengan sistem seperti yang dilakukan pada pekerjaan outsourcing, sehingga pada saat kontrak diputus begitu saja antara kontraktor Firma Semesta dengan Pacific Bechtel, pekerja outsourcing tidak dapat menuntut hak-haknya kepada kedua perusahaan tersebut. Namun demikian, ketiadaan perlindungan bagi pekerja telah membuat pandangan masyarakat menjadi negatif. Pekerja dianggap sebagai barang komoditi yang dapat dijual, dipindah tangankan, ditukar, yang hanya diperhatikan apabila pengusaha menganggap dapat mempekerjakan pekerja yang bersangkutan dan dapat disingkirkan begitu saja apabila pengusaha tidak memerlukannya lagi. Pada kenyataannya hingga masa-masa sekarang ini di mana pekerja kesulitan mencari pekerjaan, pekerja dihadapkan pada pilihan take it or leave it terhadap tawaran peluang pekerja outsourcing atau tidak bekerja sama sekali.

2. Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan Pekerja
Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan perusahaan penerima pekerjaan menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa beralih menjadi hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja untuk pekerjaan yang sifatnya berlangsung terus menerus dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Hubungan hukum yang dimaksud tidak terbatas pada pemberian upah dan pesangon ketika pekerja diputus hubungan kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak pekerja, di antaranya keikutsertaan pekerja dan keluarganya dalam program Jamsostek, program perlindungan pensiun dan lain-lain. Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan pemberi kerja harus mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam hal terjadi perusahaan pemberi kerja telah memberi pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang tidak berbadan hukum. Akan tetapi masalah yang sering timbul terjadi pada masalah perjanjian kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang harus berakhir karena perjanjian kerja sama antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya telah berakhir. Akibatnya perusahaan pemberi kerja tidak lagi mempekerjakan pekerja outsourcing dan perusahaan penyedia jasa juga tidak mau membayar sisa upah yang diperjanjikan dalam kontrak perjanjian kerja sama. Pada banyak kasus seperti yang tersebut di atas bermuara pada tuntutan di Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi hingga tingkat kasasi pun pekerja outsourcing tidak dapat menuntut hak-haknya yang menurut undang-undang ketenagakerjaan kedudukannya beralih dari menjadi pekerja di perusahaan pemberi kerja apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja. Kasus karyawan koperasi Setia Kawan melawan PT Bakrie Tosan Jaya karena buruh menuntut agar dibayarkan upah pesangon sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan kepada PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena hubungan kerja diputus secara sepihak oleh perusahaan penyedia jasanya yaitu Koperasi Setia Kawan. Dasar pemikiran para karyawan tersebut yang berjumlah 60 orang adalah karena diatur bahwa buruh yang dipekerjakan melalui perusahaan penyedia jasa berubah status hukumnya menjadi pekerja di perusahaan pengguna dengan segala hak dan kewajibannya. Kelemahan kedudukan dan hak pekerja outsourcing tersirat dalam Putusan Kasasi No.192 K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena pada dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan pengguna, sehingga tidak mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan kerja.

3. Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing
Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya dalam penerapannya banyak terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan bidang hukum ketenagakerjaan. Bidang hukum ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk melakukan suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan fungsi Hukum Perdata terutama menata hubungan antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian kerja sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja pada umumnya dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada kepastian kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para pekerja akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam hal tidak ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan kontrak kerja. Pada pelaksanaannya kontrak kerja dapat berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan pekerja yang selesai masa kontraknya diistirahatkan dulu selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke perusahaan yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat menentukan penawaran dan mengajukan persyaratan kepada pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak pelamar lain yang bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang memberatkan pekerja yang ditetapkan oleh pengusaha.

4. Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing
Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak pekerja outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja. Oleh karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan adalah dengan mempekerjakan pekerja untuk kepentingan perusahaan lain, maka dari jasa tersebut perusahaan pemberi kerja memperoleh keuntungan. Keuntungan perusahaan penyedia jasa tersebut diperoleh dari selisih antara upah yang diberikan perusahaan pengguna dengan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal tersebut pula, maka banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau maksimal dengan upah sesuai dengan ketentuan mengenai upah minimum. Beberapa kasus menggambarkan hal tersebut seperti kasus petugas kebersihan atau cleaning service dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menerima upah antara Rp 460.000,- sampai Rp 700.000,- perbulan yang jauh lebih rendah dari upah minimum provinsi DKI tahun 2006 yang mencapai Rp 819.000,- perbulan untuk pekerja lajang. Para pekerja outsourcing dalam hal upah ini tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab pada satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan mengenai upah minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha tidak akan menerima tuntutan pekerja outsourcing untuk disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung kepada perusahaan pemberi kerja.

5. Pengabaian Pengembangan Kemampuan Pekerja Outsourcing
Kesulitan lain yang dihadapi oleh pekerja outsourcing adalah peningkatan kemampuan seorang pekerja yang sulit diperolehnya dari pengusaha. Sebab pada umumnya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang. Selain itu pengembangan kemampuan dan karier pada pekerja outsourcing juga dibatasi oleh adanya spesialisasi yang dilakukan perusahaan pemberi kerja sehingga yang dihasilkan perusahaan memberi kesan kuat pada perusahaan pengguna untuk menggunakan jasa tenaga kerja yang ada pada perusahaan pemberi kerja.

C. Penutup
Pembatasan atau bahkan penolakan terhadap pemberlakuan ketentuan perundang-undangan mengenai pekerja outsourcing tidak dapat dilakukan walau seberapa kuat pekerja maupun serikat pekerja dari unit kerja sampai federasi memperjuangkannya. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan dari outsourcing itu sendiri yang menyebutkan bahwa bidang-bidang spesialisasi terutama dalam hal pengembangan produk barang dan pengembangan keahlian jasa semakin berkembang. Oleh karenanya membawa dampak bagi pekerja outsourcing untuk terbukanya lapangan kerja yang lebih luas.
Pada banyak negara industri di dunia seperti Amerika dan Inggris perkembangan outsourcing telah jauh lebih maju. Bahkan di Negara-negara tersebut, batas antara kegiatan utama dan yang bukan kegiatan utama atau kegiatan pokok semakin sulit dilihat. Semua kegiatan pekerjaan bahkan diserahkan kepada outsourcing sedangkan yang menjadi pekerjaan utama perusahaan lebih dititikberatkan pada sistem perizinan, pengawasan dan pengorganisasian kegiatan perusahaan yang dioutsource. Kegiatan utama perusahaan industri misalnya, juga hanya mengerjakan pekerjaan yang perlu kemampuan mengolah desain produk dan teknologi mesin yang andal sedangkan sisanya diserahkan kepada perusahaan outsourcing.
Hal-hal yang menjadi masalah pelaksanaan outsourcing di Indonesia memang terletak pada perlunya penegasan pengaturan mengenai batasan mengenai kegiatan pekerjaan apa yang dapat dilaksanakan pekerja outsourcing, besaran upah yang harus ditetapkan atau setidaknya kalaupun sudah ditetapkan, diketahui oleh pekerja sebelum menandatangani perjanjian kerja, hal mana yang paling menjadi pokok masalah pekerja outsourcing, di samping sistem kontrak bagi pekerja outsourcing yang harus dikaitkan dengan keberadaan perjanjian kerja sama antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan pengguna yang harus disinkronkan satu dengan yang lain; sehingga kepastian akan berlangsungnya dan jaminan adanya pekerjaan bagi pekerja outsourcing dapat memberikan rasa aman bagi pekerja outsourcing. Pemerintah sebagai pengusul perubahan regulasi dan pemegang kendali pengawasan dalam pelaksanaan praktek outsourcing juga sebaiknya memperhatikan kepentingan para pihak dalam hal ini, sebab pada dasarnya pelaksanaan outsourcing akan dapat menguntungkan semua pihak yang berkaitan asalkan masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dan berada dalam koridor penegakan hukum ketenagakerjaan.

pegadaian mengatasi masalah tanpa masalah

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut kitab undang-undang hukum perdata pada pasal 1150 menjelaskan gadai adalah hak yang diperolah seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang oleh seorang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berpiutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

Badan usaha yang bergerak dilembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kemasyarakat atas dasar hukum gadai yang mempunyai tugas pokok memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar gadai dengan tujuan agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.
B. Objek jaminan pegadaian
Pada dasarnya barang bergerak apapun itu jenisnya dapat dijadikan sebagai objek jaminan diperum pegadaian. Adapun barang bergerak yang dapat dijadikan objek jaminan meliputi;
• Perhiasan
• kendaraan bermotor
• barang elektronik dan
• barang bergerak lainnya yang dapat dijadikan sebgai objek jaminan.
Adapun barang – barang yang tidak dapat digadaikan meliputi;
• hewan ternak
• hasil bumi
• barang yang disewabelikan
• barang milik pemerintah.

C. Proses Pinjaman atas Dasar Hukum Gadai – Prosedur Kredit Cepat Aman (KCA)
Didalam pegadaian, terdapat beragam layanan yang ditawarkan oleh perum pegadaian,pada layanan pegadaian ini telah dibagi menjadi dua macam layanan meliputi:
 Layanan Gadai
 Kredit Cepat Aman (KCA)
Layanan ini merupakan kredit dengan sistem gadai yang diberikan kepada semua nasabah baik untuk kebutuhan konsumtif maupun kebutuhan produktif. Layana pada sistem ini memberikan jaminan pada setiap golongan nasabah dalam keadaan aman, cepat mudah dan felksibel. Dalam sistem ini proses pengajuan pinjaman kredit sangat mudah dan aman. Proses pencairan dana kreditannya juga relatif cepat hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit pinjaman sudah dapat dicairkan. Objek jaminannya berupa semua benda yang berharga misalnya Laptop, perhiasan, kendaraan bermotor dan benda y6ang berharga lainnya.
Dalam pengajuan pinjaman kredit dengan objek jaminannya berupa Laptop dan Handphone, berikut prosedur peminjamannya:
• Nasabah menyerahkan Identitas Diri berupa KTP dan atau KK
• Nasabah menyerahkan barang jaminannya disertai dengan bukti-bukti pembelian objek jaminan tersebut (kwitansi dan doesbook beserta carger dari Laptop dan atau Handphone tersebut dengan kartu garansi yang telah ada)
• Nasabah menandatangani Surat Bukti Kredit (SBK)
 Layanan Fidusia
 Kredit Angsuran Sistem Fidusia (KREASI)
Layanan ini merupakan kredit atau pinjaman angsuran bulanan yang diberikan kepada nasabah yang memiliki usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan usahanya denngan cara sistem fidusia. Maksud dari sistem fidusia ini diperintukan untuk nasabah dengan barang jaminan atau objek yang dijaminkan berupa Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), sehingga kendaraannya masih bisa digunakan untuk berusaha hanya bukti kepemilikan tersebut yang dikuasai oleh perum pegadaian.
Prosedur pengajuan Kredit Cepat Aman (KCA) ini sangat mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama, sangat fleksibel dan mudah. Objek jaminannya cukup BPKB kendaraan bermotor saja. Dalam hal proses pencairan dananya diperlukan waktu selama tiga hari untuk kemudian dana dapat segera dicairkan. Jumlah pinjaman yang ditawarkan didalam perum pegadaian ini berkisar mulai dari 1 juta hingga 250 juta rupiah. Sewa modal atau bunga pinjaman relatif murah dengan angsuran tetap perbulannya. Misalnya dengan jumlah pinjaman mulai dari 50.000 – 500.000 ribu rupiah ju7mlah bunganya sebesar 0.75 % per lima belas hari (15 hari). Jangka waktu pinjaman yang ditawarkan diperum pegadaian ini adalah mulai dari 12 bulan, 18 bulan sampai dengan 36 bulan. Adapun prosedur untuk mengajukan pinjaman kredit cepat aman ini adalah sebagai berikut:
• Menyerahkan fotocopy identitas diri (KTP dan Kartu Keluarga)
• Memiliki usaha yang memenuhi kriteria kelayakan serta telah berjalan selama satu tahun.
• Menyerahkan dokumen kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) asli dengan fotocopy STNK dan menyerahkan faktur pembelian kendaraan bermotor tersebut.
 Proses mudah dan pengajuan Kredit Angsuran Sistem Gadai (KRASIDA)
Layanan ini merupakan pemberian pinjaman kepada para pengusaha Mikro dan Kecil (dalam rangka pengembangan usaha) atas dasar gadai dengan pengembalian pinjaman dilakukan melalui mekanisme angsuran. Dalam sistem krasida ini objek jaminan yang digadaikan adalah perhiasan, yakni perhiasan Emas.
Proses pengajuan pinjaman terhadap sistem ini sangatlah mudah dan relatif cepat serta fleksibel, jangka penentuan waktu pinjaman mulai dari 12 bulan, 24 bulan dan ataupun 36 bulan. Modal pengembalian atau suku bunga yang ditawarkan dalam sistem krasida ini murah hanya mulai 0,9% per bulan flat atau 11,8% per tahunnya. Adapun persyaratan dalam pengajuan pinjaman gadai adalah sebagai berikut:
• Pemohon atau calon nasabah membawa angunannya atau barang gadaiannya berupa Emas
• Menyerahkan fotocopy Identitas diri (KTP dan Surat keluarga/KK)
• Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Domisili Usaha dari Lurah/Kades
Dalam hal ini akan dijelaskan prosedur-prosedur pemberian kredit yang dilakukan disetiap perum pegadaian, berikut prosedurnya:
• Pada awal pengajuan kredit, nasabah mengisi formulir aplikasi kredit Krasida
• Untuk selanjutnya nasabah menyerahkan dokumen-dokumen usahanya, dokumen-dokumen mengenai barang jaminannya tersebut(kwitansi pembelian) serta persyaratan lainnya.
• Setelah itu, petugas perum pegadaian memeriksa kembali keabsahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan nasabah kepada petugas perum pegadaian.
• Setelah itu, petugas perum pegadaian menaksir berapa besar agunan yang telah diserahkan oleh nasabah tersebut.
• Setelah ditentukan besar angunan gadai tersebut, nasabah dalam hal ini mendapat persetujuan dari pihak suami atau isteri untuk melakukan penandatanganan Surat Perjanjian Kredit.
• Pencairan dana kredit.

 Kredit Usaha Rumah Tangga (KRISTA)
Layanan ini bertujuan untuk Membantu mengembangkan Usaha Rumah Tangga khususnya bagi kaum hawa atau ibu rumah tangga yang memliki bakat berwirausaha dengan penggunaan sistem tanggung renteng. Dalam layanan ini masyarakat diharapkan bisa mengembangkan usahanya, karena dalam layanan ini memberikan jaminan yang aman serta mudah dalam proses peminjaman. Layanan ini merupakan solusi terpercaya bagi ibu rumah tangga yang ingin mengembangkan usahanya, layanan ini juga merupakan produk awal dari pemerintah yang diperuntukan bagi ibu-ibu rumah tangga yang ingin mengembangkan usahanya tersebut. Dalam layanan gadai pada sistem ini barang atau objek yang digadaikan adalah perabotan rumah tangga mulai dari Televisi, Lemari es, Lemari, dan barang rumah tangga yang sarana produksinya mengikat sistem fidusia, hanya berdasarkan surat keterangan dari kelurahan.
Prosedur dalam pengajuan Kredit terhadap sistem Layanan yang ditawarkan oleh perum pegadaian ini sangatlah mudah, cepat dan aman. Berikut proses atau prosedur dalam pengajuan kredit dalam layanan Krista adalah sebagai berikut:
• Calon nasabah yang dimaksudkan dalam sistem kredit dalam layanan ini adalah berkelompok dalam jumlah minimal 3 orang maksimal 5 orang.
• Memiliki usaha yang sudah dirintisnya selama 6 bulan
• Menerapkan sistem tanggung renteng dalam berkelompok atau dalam hal berwirausaha.
• Calon nasabah menyerahkan fotocopy Identitas Diri (KTP dari masing-masing anggota kelompok dan fotocopy surat keluarga/KK)
• Berdomisili seperti apa yang telah tercatat didalam bukti identitas diri yang telah diserahkan kepada petugas.
Dalam pengajuan kredit terhadap sistem ini, perum pegadaian mempunyai penawaran jumlah pinjaman mulai dari 100.000(seratus ribu rupiah) sampai dengan 5.000.000(lima juta ribu rupiah). Proses pencairan dana kredit membutuhkan waktu kurang lebih selama tiga hari setelah pengajuan dana kredit tersebut diterima oleh petugas perum pegadaian. Dalam sistem ini jumlah sewa angunan atau modal bunga yang telah diterapkan sebesar 1% per bulan dengan jangka waktu pembayaran mulai dari 12 bulan, 18 bulan, 24 bulan dan maupun selama 36 bulan.
D. Prosedur Pelunasan dalam Kredit Cepat Aman (KCA)
Sesuai dengan syarat – syarat yang telah ditentukan pada waktu pemberian pinjaman, nasabah mempunyai kewajiban untuk melakukan pelunasan pinjaman yang telah diterimanya pada awal proses pinjaman kredit. Pada dasarnya dalam sistem prosedur pelunasan yang dilakukuan oleh para golongan nasabah, nasabah bisa melakukan kapanpun pelunasan pinjaman kredit tersebut apabila nasabah tersebut memegang jumlah uang yang lebih, tanpa harus menunggu pada saat jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, hal ini bertujuan agar tidak memberatkan nasabah. Akan tetapi pelunasan pembayaran pinjaman kredit tersebut bisa juga dilakukan berdasarkan prosedur dalam perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan perum pegadaian tersebut. Adapun prosedur pelunasan dalam pinjaman kredit yang ditawarkan di perum pegadain ini adalah sebagai berikut:
• Pada dasarnya semua prosedur pelunasan yang dilakukan didalam pelunasan pinjaman kredit ini adalah sama, dapat dilakukan kapanpun nasabah mempunyai jumlah uang yang lebih tidak menunggu jatuh tempo.
• Nasabah menyerahkan Identitas Diri (KTP dan atau KK)
• Nasabah menyerahkan Surat Bukti Kredit (SBK)
• Ini yang terpenting, nasabah diharapkan membawa uang pelunasan agar dapat menebus barang jaminannya yang telah digadaikan tersebut.
E. Prosedur Pelelangan dalam Kredit Cepat Aman (KCA)
Pelelangan dalam pegadaian merupakan penjualan secara umum yang dilakukan oleh perum pegadaian dimana perum pegadaian menjual barang – barang milik para anggota atau golongan nasabah yang barangnya selamaya empat bulan dari tanggal jatuh tempo tidak ditebus atau tidak diperpanjang, maka pihak perum pegadaian berhak untuk menjual secara umum kepada masyarakat luas atau barang – barang tersebut menjadi milik publik atau umum. Terdapat pembedaan antar pelelangan terhadap barang gudang dalam hal ini adalah barang – barang seperti kendaraan bermotor, ataupun peralatan rumah tangga dengan barang perhiasan. Yang menjadi pembeda antara kedua golongan tersebut adalah nilai pelelangan. Barang gudang seperti yang dijelaskan diatas, nilai atau harga lelangnya tergantung pada penawaran yang telah diberikan oleh penawar, sedangkan harga atau nilai lelangan terhadap barang perhiasan dalam hal ini Emas, memiliki harga tersendiri yang sudah ditetapkan oleh kantor wilayahnya. Misalnya dalam pelelangan perhiasan Emas, kantor wilayah telah menetapkan harga lelang sebesar 10 juta untuk berat Emas seberat 15 gram, maka perum pegadaian menjual harga emas tersebut berdasarkan harga yang telah ditentukan oleh kantor wilayah tersebut. Pelelangan ini dilakukan setiap satu bulan sebanyak 2x pelelangan. Jadi misalkan barang yang digadaikan dalam jangka waktu 4 bulan tidak juga ditebus oleh pemiliknya maka perum pegadaian akan melakukan proses pelelangan secara umum.
F. Bentuk Perjanjian dalam Kredit Cepat Aman (KCA)
Perjanjian kredit dalam bentuk perjanjian barang bergerak ini berisikan kata sepakat antara kedua belah antara nasabah dengan perum pegadaian yang disahkan dengan adanya tandatangan pada halaman surat bukti kredit (SBK). Berikut contoh daripada Surat Bentuk Kredit tersebut

surat bukti kredit.1

Ciri – ciri yang terkandung didalam Surat Bukti Kredit tersebut adalah sebagai berikut:
• Terdapat Hologram kolom dibawah tulisan “Surat Bukti Kredit” sebelah tulisan “Perhatian”. Surat bukti kredit yang terdapat hologramnya tersebut dipegang atau diperuntukan untuk nasabahnya sendiri. Jadi dalam hal peminjaman kredit nasabah memegang surat bukti kredit yang asli dengan bercirikan hologram diatasnya tersebut.
• Sedangkan untuk arsip kantor menggunakan atau memegang surat bukti kredit yang disebut dengan “Dwilipat”.

UU tentang mata uang dinilai rawan pelanggaran

PPP-NEWS – Undang-undang (UU) Mata Uang dinilai rawan karena penerapannya di lapangan  masih belum ada kejelasan. Ketua Panitia Kerja RUU mata uang, Achsanul Qosasi memberikan contoh. Misalnya, suatu transaksi, apabila ada pelanggaran penggunaan mata uang asing namun tidak ada monitor mungkin bisa lolos dari sanksi.

“Tetapi begitu ada pelanggaran mata uang ada perselisihan ada konflik bisnis diantara mereka, tentu hukum tidak akan mendukung mereka, dan disitulah fungsi UU ini mulai bekerja,” katanya di Jakarta belum lama ini.

 

Dia menjelaskan menegaskan bahwa UU tersebut telah melarang setiap penggunaan mata uang asing di Indonesia. Namun dia mengaku sulit untuk melakukan pengawasan terhadap setiap transaksi yang berlangsung setiap hari.

”Itu ada sanksi hukumnya kalau mau menggunakan transaksi dollar (Amerika Serikat) di dalam negeri. Tidak bisa (semua diawasi) memang, tetapi minimal kami sudah ada undang-undang yang mengatur tentang hal itu, sehingga kalau nanti pelanggaran perdagangan itu nanti akan dianggap pelanggaran undang-undang,” jelasnya.

Menurutnya DPR dan pemerintah bertugas untuk mensosialisasikan ini peraturan baru ini dan anggota DPR diyakini akan mensosialisasikan ke daerah pemilihan mereka pada saat reses nanti.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz menjelaskan pengawasan kewajiban transaksi menggunakan rupiah sudah menjadi kewajiban pemerintah dan Bank Indonesia. Kedua pihak tersebut juga dinilai berwenang untuk menindak apabila terjadi pelanggaran.

Sementara itu, secara terpisah Pengamat Ekonomi dari LIPI Latief Adam menjelaskan undang-undang ini menunjukan rupiah sebagai mata uang yang kredibel. Oleh karenanya impelementasinya dinilai tidak bisa dibiarkan begitu saja, perlu ada pengawasan dan sifatnya segera.

Pemerintah juga diharapkan bisa menindak tegas setiap ada pelanggaran dalam transaksi perdagangan yang menggunakan mata uang selain rupiah. Apabila tidak diimplementasikan, maka undang-undang ini dinilai akan menjadi sia-sia saja karena masih banyak masyarakat yang belum memahaminya

Latief mencontohkan daerah yang biasa menggunakan transaksi mata uang asing seperti perhotelan, tempat elektronik, pelabuhan.

“Pemerintah mulai bisa mengidentifikasikannya dari sana, setelah diidentifikasi maka langsung dilakukan monitoring, yang terpenting sekarang adalah implementasinya di lapangan,” tegasnya

Sebelumnya rapat paripurna DPR telah mengesahkan UU Mata Uang untuk mengelola dan mengendalikan mata uang rupiah. Dengan berlakunya UU Mata Uang, semua transaksi perdagangan di Indonesia wajib menggunakan Rupiah. (BN10)

 

sumber:

http://indonesiainfrastructurenews.com/index.php/310-uu-tentang-mata-uang-dinilai-rawan-pelanggaran

Penegakan Hukum di Indonesia Buruk

JAKARTA, (PRLM).- Kondisi penegakan hukum di Indonesia belakangan ini dinilai buruk. Hal itu dipicu oleh lemahnya penegakan hukum seperti pada kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti.

Menurut Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi, Ph.D, penilaian buruk itu berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember 2011.

“Hampir sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2011), baru kali ini lebih banyak rakyat menilai kondisi penegakan hukum secara umum buru,” katanya dalam diskusi bertema “Korupsi dan tata kelola pemerintahan”, di Jakarta, Minggu (8/1).

Selain itu, publik juga menilai kinerja pemerintahan dalam pemberantasan korupsi buruk atau sangat buruk, dengan proporsi di bawah 50 persen. Padahal, data longitudinal sejak 2005 sampai 2011 menunjukkan proporsi sikap positif publik senantiasa lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi.

Dikatakan, penanggung jawab penurunan kepercayaan ini bukan hanya pemerintah, tetapi semua pihak yang secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Karena apa yang dinilai buruk dalam demokrasi Indonesia berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law), dan pengawasan terhadap korupsi,” ujar Dodi.

Data Governance Indicator World Bank 2011 menunjukkan, dalam sepuluh tahun demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti dan masih tetap negatif. “Korupsi tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin merosot,” katanya.

Pustaka:

http://www.pikiran-rakyat.com/node/172284